Kenapa hidup begitu berat ?

Sumber : quora


 -Sedikit cuplikan hidup saya-

Saya adalah anak di luar nikah

20 tahun lalu, saat Ibu saya berstatus menjadi seorang mahasiswi sastra di salah satu universitas ternama di kotanya. Pertengahan semester, terpaksa beliau cuti karena diketahui sedang "berisi" lantaran hubungan terlarangnya dengan seorang pria yang jauh dari kata baik-baik, tidak memiliki pekerjaan tetap, katanya seorang vokalis band, yang hidupnya hanya berpindah dari satu panggung ke panggung lainnya. Pria itu, ayah saya.

Ibu yang notabenenya berasal dari keluarga terpandang di kampung saat itu dengan background keluarga besar kami yang luar biasa islami, tentu nenek dan kakek saya kalang kabut mendapati putri satu-satu mereka "kecolongan". Akhirnya diputuskanlah untuk menikahkan (dengan berat hati) putri kesayangan mereka dengan seorang pria yang tentunya jauh dari kata "menantu idaman" itu.

Kisaran bulan Maret menikah lalu di bulan Agustus, lahirlah saya.. Iya, saya lahir bukan karena harapan orang tua dan keluarga, tapi saya lahir dengan membawa aib besar bagi mereka.

Hidup tanpa tahu apapun

10 tahun berlalu, saya hidup sebagai anak perempuan pertama dan cucu pertama. Sesuatu yang sangat saya banggakan karena hampir seluruh kasih sayang keluarga tercurah hanya kepada saya.

Kehidupan saya sepenuhnya saat itu ditanggung oleh Nenek dan Kakek dari Ibu saya (yang saya panggil Omi dan Opi). Omi dan Opi adalah seorang PNS dan masing-masing bekerja di Instansi Pemerintahan. Baju-baju saya, saku untuk sekolah, hingga perintilan lain yang saya inginkan zaman kanak-kanak dulu. Bahkan saya tidak pernah melewatkan perayaan ulang tahun dari umur 1–7 tahun. Pun semua itu yang membiayai adalah Omi dan Opi.

Ibu dan ayah?.. Ibu saat itu seorang guru honorer, gajinya tidak sampai 500 ribu dalam sebulan. Saking kecil gajinya saat itu, Ia harus merelakan cincin pernikahannya dijual untuk membeli popok guna bayi kecilnya. Dengan seadanya dipaksa untuk dapat menutupi kebutuhan-kebutuhan, ongkos kerja, dan sesekali untuk jajan saya.. juga suaminya.

Ayah memang tidak bekerja. Kegiatan sehari-harinya hanya tidur, makan, jemput saya pulang sekolah dengan motor pemberian Omi dan Opi, lalu tidak lupa mabuk dan berjudi bersama teman-temannya yang terlambat puber itu. Ia selalu pulang subuh dalam keadaan mabuk dan muntah di kamar kemudian Ia membiarkan istrinya membereskan semua kegaduhan yang Ia perbuat. Lantas, apakah dapat dikatakan Ia adalah suami dan ayah yang baik?

Jawabannya, tentu tidak. Saya sudah bisa menilai itu bahkan dari umur saya 5 tahun. Saya ingat dengan jelas bagaimana bunyi dentuman keras saat Ayah menjedukkan kepala Ibu ke tembok. Atau saat Ayah melempar saya dengan nasi dan piring karena pada saat itu saya menegur beliau yang melempar kucing dengan pisau. Lalu saat Ayah menendang pintu kamar dan mengatakan Omi "bedul" (read : babi) karena Omi meminta tolong sesuatu. Itu sekilas, masih banyak hal-hal di luar nalar yang dilakukan beliau.

Adapun cerita yang mengiris hati saya, ternyata pada saat Ibu hamil, Ayah pernah ditahan di kantor polisi karena kedapatan mencuri uang seorang laki-laki mabuk. Malam-malam, hamil tua, Ibu saya ke kantor polisi demi membebaskan suaminya agar dapat dikeluarkan dari sana. Mengetahui cerita itu, hati saya teriris…

Pada akhirnya saya pun tahu..

Fakta bahwa saya lahir di luar pernikahan adalah satu hal yang sangat mengguncang jiwa saya pada saat itu. Diumur ke 17 tahun saya mengetahuinya. Hati saya hancur sehancur-hancurnya. Dada saya sesak, tangan saya gemetar parah, air mata saya bercucuran tanpa henti. Bahkan potret itu selamanya teringat jelas di memori saya.

Ibu datang, Ia menangis sejadi-jadinya, memeluk saya, bersujud pada saya, dan memohon maaf karena telah melahirkan saya dengan cara yang salah. Satu hal yang Ia tekankan, katanya "Demi Allah, bahkan pada saat Ibu tahu sedang mengandung diluar pernikahan, tidak sedikitpun berpikir untuk membunuh anak Ibu yang suci".

Lama agaknya beradaptasi dengan fakta tersebut. Semenjak itu saya mulai mengerti mengapa Ayah tidak menyanyangi saya sepenuhnya. Mengapa Ayah tidak ada usaha untuk mencari pekerjaan demi menafkahi saya. Mengapa ayah menolak untuk tidur dengan putri kecilnya. Atau mengapa Ibu selalu marah besar jika saya tidak memakai baju dengan benar di depan Ayah. Itu semua karena tidak ada hubungan nasab antara saya dan Ayah.

Sejak saat itu pula, kekaguman saya terhadap Ibu sebagai sosok wanita hebat, pekerja keras, dan berkelaspun, sirnah. Ibu bukan lagi seseorang yang dapat saya banggakan karena dosanya di masa lalu. Maafkan saya, Ibu.

Ibu dan Ayah bercerai

Saya singkatkan perjalanan hidup keluarga kami sampai di umur saya ke 20 tahun.

Masih dengan Ibu yang pekerja keras dan Ayah yang alhamdulillah sudah berubah sedikit menjadi lebih baik (sudah mulai belajar solat, puasa, menafkahi keluarga), walaupun habit buruknya belum semua Ia tinggalkan. Semenjak kehadiran Adik saya, perlahan semuanya lumayan berjalan dengan "normal".

Ibu saya, alhamdulillah sudah mendapat pekerjaan di universitasnya di dulu sebagai salah satu staff universitas. Tentu gajinya lebih sepadan dengan keringatnya dibandingkan menjadi guru honorer saat itu. Sayapun sudah berkuliah di kampus yang sama dengan Ibu dulu.

Ayah masih seorang penjudi dan pemabuk. Bahkan sesekali Ia kepergok oleh Ibu berhubungan dengan perempuan lain walaupun hanya via chat. Belum lagi Ayah yang selalu berhutang entah buat kebutuhan apa, dan selalu Ibu yang melunasinya. Selama itu Ibu selalu sabar, Ia selalu tahan semuanya demi anak-anak.

Puncaknya, suatu malam setelah selama beberapa hari saya mencurigai Ibu mempunyai pria lain. Saat itu saya selesai mengajar (freelance di samping kuliah), membuntuti Ibu yang kata beliau sedang bekerja tapi nyatanya sedang di mobil berdua dengan pria yang saya kenali.

Saya pergoki keduanya. Saya maki-maki habis-habisan pria yang saya kenal dengan baik. Saya marah ke Ibu, saya kecewa. Semua kata-kata serapah keluar dari mulut saya malam itu juga. Ibu tidak mengelak bahwa Ia memang berselingkuh, Ibu hanya bisa menangis sambil berusaha menenangkan saya yang kesetanan. Saya paksa Ibu untuk berbicara, mengklarifikasi apa yang terjadi. Karena jauh di dalam hati, saya masih berharap bahwa hal tersebut adalah hanya dugaan yang tidak benar. Namun, Ibu justru mengakuinya, sambil terisak Ia berkata.. "Teh, Ibu capek.."

Saya tidak akan mempertanyakan alasan Ibu selingkuh. Jika saya di posisi Ibupun, 20 tahun menjadi istri dari pria seperti Ayah, tentu adalah hal yang sangat sulit. Tapi pilihan untuk mendua bukanlah jalan keluarnya. Satu sisi saya memahami tindakan Ibu, dan di sisi lain saya tidak terima Ayah di khianati. Apapun judulnya, perselingkuhan adalah hal paling menjijikan menurut saya.

Semenjak kejadian traumatis itu, Ayah dan Ibu pisah ranjang. Ayah memutuskan keluar dari rumah meninggalkan anak istrinya. Rumah itu adalah pemberian dari Omi dan Opi dan sepenuhnya atas nama Ibu.

Saya yang tidak tahan dengan keadaan keluarga, akhirnya mengucapkan untuk lebih baik Ibu dan Ayah bercerai. Ibu bukan lagi istri yang mencintai suaminya sepenuh hati seperti saat dulu. Ayahpun bukan suami yang mengasihi Istri dan anak sebagaimana mestinya.

Rumah yang sedari dulu berusaha dibina, tidak akan pernah menjadi rumah yang kami harapkan.

Hancur yang tidak akan pernah utuh

Saya berpikir ujian yang diberikan hanya sampai di situ. Ternyata luar biasa agungnya Allah, menguji saya dan keluarga dengan segala yang diberikan dan dipunyai.

Ayah tidak terima ia diceraikan. Ayahpun mengkambinghitamkan saya yang Ia sebut durhaka karena membuat orang tuanya pisah. Ayah tetap ingin bersama Ibu, karena selama ini Ibu adalah penunjang hidupnya.

Ayah pernah berkata untuk jangan pernah mencarinya ketika saya nikah kelak.

Juga ancaman beruntun kepada Ibu. Ancaman akan membunuh, melaporkan polisi, menghancurkan karier Ibu yang sudah dibinanya dengan susah payah. Ibu, selalu diam dan menahan semuanya. Walaupun pasti Ia merasa apa yang dilakukan Ayah adalah bukan perlakuan yang tepat. Mengingat keduanya sudah tidak lagi terikat pernikahan.

Selain itu, walaupun sudah bercerai, masalah seperti penagihan hutang Ayah yang membengkak tetap Ibu bantu melunasi. Hutang keluarga sudah tidak terbendung lagi, bahkan ancaman penjara selalu Ayah dapati karena hutangnya tidak kunjung lunas. Jadi sampai detik ini, keluarga kami tetap ditagihi oleh hutang-hutang yang tidak berujung itu.

Perihal Ibu dan saya yang diteror tetap berjalan. Bahkan adik saya yang masih kelas 5 SD pun dapat perlakuan yang sama, oleh Ayahnya sendiri. Hati kakak mana yang tidak sakit..

Ayah tetaplah Ayah

Meskipun begitu, Ayah adalah orang tua yang harus saya hormati dan kasihi. Kami yang tidak serumah lagi, bukan berarti urusan saya dan Ayah sudah selesai. Walaupun memang nanti Ayah tidak bisa menjadi wali di pernikahan saya, walaupun kami tidak senasab, saya selalu berusaha untuk memberikan Ia yang terbaik.

Ayah saya hanyalah korban dari salahnya pengasuhan yang diberikan oleh kedua orang tuanya dulu. Ia tidak berpendidikan, Ia tidak bergelar sarjana, Ia tidak berpangkat, Ia hanyalah kerja sebagai buruh. Jiwanya yang bebas membuat Ia selalu bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu.

Membayangkan Ayah yang hidup sendiri, selalu menggertakkan hati saya. Siapa yang nanti menyiapkannya makan? Atau, siapa yang nanti mencuci baju kerjanya? Lalu, saat puasa nanti, siapa yang membangunkannya sahur dan menghidangkannya kudapan buka puasa?

Perasaan bersalah selalu menghantui sampai detik ini. Sampai sekarangpun saya tidak pernah memaafkan diri saya yang tidak bisa membantu mempertahankan rumah tangga kedua orang tua saya sampai mereka bercerai. Bahkan sejak diri saya yang harus lahir tanpa diharapkan sehingga hanya menjadi beban bagi hidup Ibu dan Ayah. Sadar sepenuhnya, bahwa saya adalah anak yang jauh dari kata baik, patuh, hangat, sopan dan doa-doa lain dari orang tua untuk anaknya.

Saya hanyalah seonggok manusia yang hidup dengan segala luka yang mengakar—

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kenapa hidup begitu berat ?"

Post a Comment